SATU GELAS KOPI UNTUK JAM 2 PAGI
Nyatanya, satu gelas kopi tidak cukup membuat mataku kuat terjaga sepanjang malam. Meskipun dalam satu gelas tersebut kutambahkan satu sendok ekstra kopi, yang kupikir menambah kuat kafein di dalamnya. Usaha tetap sia-sia. Aku tertidur pulas sambil membawa beban pikiran, bahwa hari ini tidak lebih baik dari hari kemarin. Lalu aku hilang dalam ketidaksadaran.
Besoknya.
Sekali lagi, aku hidup di dunia ini. Nikmatnya adalah aku belum dihakimi. Menariknya adalah ada banyak hal yang harus kukerjakan dan kuselesaikan untuk tetap bertahan hidup maupun mempertahankan pula eksistensi diri dalam peran-peran yang ada dalam masyarakat. Tapi sekali lagi, kendala itu datang silih berganti.
Waktu berlalu terlalu cepat belakangan ini. Namun anehnya, otakku berputar sangat lambat. Ketidakkooperatifannya membuat aku rugi banyak, terutama kesempatan.
Sangkaku sudah berusaha dengan semaksimal mungkin. Ternyata logika berpikirku masih melihat peluang usaha yang lainnya, yang seharusnya bisa kulakukan namun ternyata tidak. Dan sekali lagi waktu yang sangat berharga itu, kubuang dengan sia-sia. Kemudian aku sekarang sedang menikmati kesia-siaan itu dalam penyesalan. Sebab yang kudapatkan adalah tidak ada.
Aku menggenggam tiga butir debu dan sedang memeluk rasa putus asa. Kekecewaan terhadap diri sendiri semakin hari semakin besar. Pertanyaan yang sama terus berulang, “kenapa otakku tidak bisa kugunakan dengan baik?” atau “sialan, kenapa aku tidak bisa berpikir lagi?” atau “kalau seperti ini terus, bagaimana caraku bertahan dan menghadapi dunia?”.
Ah, hidup ini indah dan menyakitkan di saat yang bersamaan. Hidup ini anugerah juga kutukan kukira. Tapi bukankan memang demikian? Hidup di dunia adalah anugerah karena berisi kesempatan. Selain itu sebagai manusia, hidup memang kenikmatan yang setiap teguknya tidak bisa dikira-kira akan mendapatkan rasa apa. Kadang manis, kadang gurih, tidak jarang pula pahit, asam, bahkan keasinan. Rasa-rasa kehidupan yang datang secara acak dan beragam inilah yang kumaksud dengan hidup yang menyakitkan dan kutukan. Karena kegagalanku sendiri untuk menghadapi dan meneguk dengan tegas apapun rasa kehidupan dari secangkir air yang mengisi gelasku.
Hari ini dan beberapa hari belakangan aku gagap. Aku harus minum dari gelas itu tapi menelannya aku tidak sanggup. Rasanya terlalu kental dan padat untuk sebuah minuman. Tenggorokanku pun sedang tersumbat atau lebih tepatnya kusumbat sendiri dengan pemikiran bahwa minuman yang kali ini mengisi gelasku terlalu padat. Dia bukan minuman yang harus kuteguk, melainkan makanan padat yang harus kukunyah. Dan cara mengunyahnya yang rupanya tidak kuketahui bagaimana.