KARAVANSERAI: SEBUAH REFLEKSI TENTANG MOMENTUM, RUANG, DAN WAKTU

X-GENELOSAURUS
3 min readDec 31, 2022

--

Selamat tahun baru manusia. Lama tidak menulis karena alasan bahwa pikiran sedang penuh. Padahal kepenuhan di kepala patutnya dituangkan dalam suatu karya cipta agar tidak berubah menjadi lalat yang berdengung di sekitar telinga, bukan?

Baik, tulisan kali ini akan memuat refleksi saya sebagai pejuang tahun 2022. Sebagai seorang pejuang, selalu saya diingatkan oleh orang-orang disekitar saya untuk jangan lupa menikmati. Sialan! Berjuang untuk bertahan saja sudah terasa mual, apalagi ini harus dinikmati. Maka sama halnya dengan makanan yang tidak hanya dikunyah dan ditelan saja, makanan juga harus dinikmati rasanya, teksturnya, dan bagaimana perasaanmu ketika makanan tersebut bersandar sebentar di atas lidah. Makanan yang menari sambil terus berputar, baru sesudahnya ditelan. Hup! Hilang sudah. Begitu juga kiat-kiat tumbuh menjadi orang dewasa yang sering didengungkan kepadaku. Dinikmati adalah lauk-pauk yang senantiasa dicekokkan agar masuk ke dalam mulutku tanpa mempedulikan apakah lidahku akan merasakan rasa nikmat yang sama? Atau malah rasa-rasa terpaksa yang pahit yang justru menyeruak. Hanya aku yang tahu rasanya.

Membicarakan tentang kehidupan dan upaya bertahan dengan bahagia, 2022 menjadi sebuah kanvas yang penuh sekarang. Dalam kanvas 2022 yang kumiliki, ada banyak coretan garis, kadang aku menekan kuas dengan keras hanya untuk membentuk sebuah titik-titik hitam yang kadang kulukiskan di pinggir, bahkan di tengah. Warnanya pun beragam. Ada banyak sekali warna-warna yang kupoles di sana. Orang lain pun ku-persilahkan untuk mewarnai atau menggambar bentuk yang mereka kehendaki. Bebas. Sebab aku tahu, kanvas milikku bukanlah milikku sepenuhnya. Ada Tuhan di atasnya, keluarga sedarah, keluarga yang kutemukan di tengah perjalanan, hingga orang-orang asing yang kuajak bicara ketika aku sedang beristirahat di suatu karavanserai. Iya, orang asing yang sama-sama sedang beristirahat kuizinkan untuk meninggalkan jejaknya di kanvas kepunyaanku.

Membicarakan karavanserai, secara etimologis, karavanserai atau karavansari berasal dari Bahasa Persia yang berarti penginapan di tepi jalur perdagangan tempat para musafir dapat beristirahat dan memulihkan tenaga dari perjalanan panjang. Karavanserai menyediakan makanan, minuman, dan ruangan untuk para musafir beristirahat serta sesekali bercengkrama dengan sesama musafir yang kebetulan sedang ikut beristirahat. Sadarkah kalian bahwa dalam kehidupan kita yang sesungguhnya, waktu dan momen kadang tidak membiarkan kita selalu bertemu serta berinteraksi dengan orang itu-itu saja. Manusia yang sifatnya dinamis, akan selalu bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Mengapa demikian? Karena ada sesuatu yang sedang kita kejar, ada sesuatu yang sedang kita butuhkan, ada sesuatu yang kita cari keberadaannya. Dan saat itu tiba, rumah adalah awal dimana perjalanan kita dimulai.

Suatu hari saya menemukan kutipan yang berbunyi, “home is where the heart begins, but not where the heart stays”. Mungkin demikian dengan hidup. Dunia ini bagaikan karavanserai. Sebuah medium untuk sesama manusia saling bertemu, berinteraksi, bersinggungan antara satu dengan yang lain. Dalam karavanserai tersebut, manusia beristirahat, makan dan minum sesuai dengan kebutuhannya. Manusia yang mungkin sedang lelah atau lapar atau kehausan dalam perjalanan panjangnya mencari rumah yang bisa ditempati hingga mataharinya terbenam.

Manusia dalam pencarian rumahnya akan menempati pondok-pondok peristirahatan sementara. Tetapi meski demikian, manusia tetap akan menemukan momentum yang terpatri dalam benaknya. Baik itu momen baik atau momen buruk, manusia diizinkan tumbuh dan mekar melalui momen yang secara alami muncul dalam perjalanannya. Mungkin momentum ini yang dimaksud orang-orang tua itu, momen yang merupakan bumbu-bumbu penyedap untuk melengkapi piring makananku agar terasa sedap dilidah dan menyehatkan dibadan. Momen yang meskipun berat, adalah bagian untuk menguatkan kaki, tangan, dan tekadku agar tumbuh serta berkembang menjadi manusia yang mekar ketika musim semi tiba. Pada matahari terbit, ketika embun-embun mengalah dan leleh, kelopakku mekar dengan segar. Karena aku bertahan di setiap momen kehidupanku. Kehidupan kita masing-masing.

Momen adalah waktu dan kehidupan adalah ruang, sementara titik-titik kemana kaki kita melangkah dan berhenti untuk beristirahat adalah sebuah proses indah menuju pembentukkan yang sempurna dalam hidup sebagai seorang manusia. Maka di tahun 2023, tahun yang baru yang mana jutaan manusia sedang sibuk-sibuknya menetapkan hal-hal baik yan hendak dicapai, aku tak mau kalah. Ada satu hal yang ingin aku capai dan perkuat, yaitu mengenai upaya untuk bersyukur. Mungkin menikmati gula batu yang tiba-tiba dijejalkan ke mulutku adalah momen yang menyakitkan sehingga tidak bisa kunikmati. Tapi semoga hadirnya gula batu yang menyerut langit-langit mulutku dan membuatku tersedak, tetap bisa kunikmati sebagai hal-hal keras yang akan mencair manis ketika aku tahu bagaimana cara melumerkan kristal gulali di mulutku. Semoga tahun 2023 pun akan menjadi momen dan waktu yang tepat untuk umat manusia belajar lebih bersyukur, sembari kita menyusuri ruang demi ruang, karavanserai demi karavanserai yang lain, hingga sampai di tujuan akhir. Rumah. Sekali lagi, selamat tahun baru untuk kita semua. Amin.

--

--