BETWEEN SLEEPING AND “OH AM I DREAMING?!”

X-GENELOSAURUS
2 min readNov 1, 2022

--

“Selamat tidur dan jangan bermimpi”

“Kenapa tidak boleh bermimpi?”

“Artinya kau tidur dalam kegelisahan dan pikiranmu sedang berlari.”

“Intinya?”

“Kau tidak benar-benar beristirahat, tidurlah dengan damai dan jangan bermimpi. Istirahatkan juga pikiranmu. Dialah sumber kehidupanmu yang sesungguhnya.”

Sebuah percakapan tengah malam antara aku dan diriku sendiri yang tidak bisa tidur. Udara di sini kering dan berdebu. Paru-paruku selalu mengirimkan kekhawatiran karena takut jika nanti aku pulang, dia penuh dengan debu dan lupa caranya membersihkan dirinya sendiri.

Tengah malam dan sudah terbiasa jika tidurku tak pernah nyaman. Antara tidur telat, tidur sebentar untuk kemudian terbangun dan tidur kembali, atau tidur terlalu cepat untuk durasi paling lama tiga jam kemudian tidak bisa tidur sama sekali sampai hari sudah berganti dan aku harus bermain peran kembali.

Betapa begini sekali hidup menjadi orang dewasa. Setiap di perjalanan pulang, sambil memandangi tempat-tempat yang bukan tempatku, ya aku tau, aku selalu bertanya kepada diri sendiri, “kamu masih ingat caranya bermain kan? Menikmati secangkir air hujan dengan penuh ucapan syukur? Atau sekedar tiduran di bawah pohon bambu yang meskipun tidak menutup matamu, tapi badan dan pikiran bahkan jiwamu dapat beristirahat dengan baik”. Setelah itu aku diam, aku mencari jawabannya di pikiranku tapi tidak bisa kutemukan. Aku juga sudah berusaha mencari jawaban dengan menghitung setiap batu yang tercecer disekitar rel kereta. Sial, aku lupa caranya.

Antara sadar atau bermimpi, aku seperti kehilangan jiwaku sendiri. Kadang ruh-ku terasa penuh, tak jarang ruh-ku seperti sedang menjadi angin yang tidak bisa diwadahi biar utuh. Dia menjadi partikel bebas yang bisa dinikmati oleh orang lain, tapi tidak bisa kunikmati sendiri. Dikais pun tetap tidak terkumpul. Aneh memang.

Apakah ini yang dinamakan kehilangan diri sendiri? Apakah ini yang membuat Idgitaf dan anak muda yang lainnya takut menjadi dewasa? Karena takut kehilangan diri sendiri tapi berpura-pura utuh. Iya, berat memang dan membikin megap-megap.

Semoga ya besok jiwaku lebih kondusif dan penurut, serta dapat mengerti aku dengan baik. Biarlah dia mengerti bahwa aku harus terus hidup, sehingga artinya aku butuh jiwa agar tetap mengisi cangkir kehidupanku, aku butuh pikiranku tetap mengepul seperti teh panas yang biasa kamu beli ketika sedang duduk diwarkop yang ada di wisata puncak, dan aku butuh diriku sendiri sebagai cangkir karena kedua telapak tanganku tidak cukup untuk menggenggam kehidupanku sendiri. Oh, apakah ini yang dinamakan sedang merindukan Tuhan? Tuhan, malam ini datanglah. Amin.

--

--